Wednesday, September 23, 2020

Biografi Buya Hamka, Ulama, Jurnalis dan Sastrawan Indonesia



Buya Hamka, selain dikenal sebagai ulama, Hamka juga dikenal sebagai budayawan, jurnalis dan sastrawan indonesia yang terkenal dengan beberapa buku cerita pendek dan novel karangannya.  

Kali ini, tim Biografi.co.id akan mengulas sosok ulama yang juga sastrawan ini. Berikut biografi singkat Buya Hamka. 

Pemilik nama lengkap Abdul Malik Karim Amrulah, Agam, Sumatera Barat lahir pada tanggal 17 Februari 1908, dari pasangan Syekh Abdul Karim bin Amrullah (Ayah), Siti Safiyah (Ibu). 


Masa Kecil

Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1326] di Tanah Sirah, kini masuk wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. 

Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara, anak pasangan Abdul Karim Amrullah "Haji Rasul" dan Safiyah. Adik-adik Hamka bernama: Abdul Kuddus, Asma, dan Abdul Mu'thi. Haji Rasul menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberi Malik seorang kakak tiri, Fatimah yang kelak menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur. 

Namun sayangnya Haji Rasul bercerai dengan Safiyah. Dan Haji Rasul menikah lagi dengan Rafi'ah dan memberi Hamka seorang adik tiri bernama Abdul Bari. 

Kembali ke Minangkabau setelah belajar kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Haji Rasul memimpin gelombang pembaruan Islam, menentang tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun ayahnya sendiri, Muhammad Amrullah adalah seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri Amrullah, anduang bagi Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian, dan pencak silat.


Masa Kecil

Di Maninjau, Buya Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. 

Ayahnya sering bepergian untuk berdakwah. Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti kepindahan orang tuanya ke Padang Panjang, disana ia belajar membaca al-Quran dan bacaan shalat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa. 

Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Diniyah School, menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis surau. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di Diniyah School. Kesukaanya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.

Pada 1918, Buya Hamka berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Buya Hamka ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf. 

Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan.  Dari pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang membahas tentang syair dalam bahasa Arab. 

Kendati kegiatannya dari pagi sampai sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil terkenal nakal. Ia sering mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti. Karena gemar menonton film, Malik pernah mengelabui ayahnya, diam-diam tidak datang ke surau untuk mengintip film bisu yang sedang diputar di bioskop.


Merasakan Perceraian Orang Tua

Saat berusia 12 tahun, Buya Hamka menyaksikan perceraian orang tuanya. Walaupun ayahnya adalah  penganut agama yang taat, kerabat dari pihak ibunya masih menjalankan praktik adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. 

Hari-hari pertama setelah orang tuanya bercerai, Buya Hamka tak masuk sekolah. Ia menghabiskan waktu berpergian mengelilingi kampung yang ada di Padang Panjang. Ketika berjalan di pasar, ia menyaksikan seorang buta yang sedang meminta sedekah. 

Buya Hamka yang iba menuntun dan membimbing peminta itu berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan sedekah, hingga mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya marah saat mendapati Buya Hamka di pasar pada hari berikutnya, "Apa yang awak lakukan itu memalukan ayahmu." 

Buya Hamka sempat membolos selama lima belas hari berturut-turut sampai seorang gurunya di Thawalib datang ke rumah untuk mengetahui keadaan Malik. Mengetahui Malik membolos, ayahnya marah dan menamparnya.

Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Buya Hamka kembali memasuki kelas belajar seperti biasa. Pagi belajar di Sekolah Diniyah, pulang sebentar, berangkat ke Thawalib dan kembali ke rumah menjelang Magrib untuk bersiap pergi mengaji. 

Sejak ia menemukan bahwa gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy membuka bibliotek, perpustakaan persewaan buku, Buya Hamka sering menghabiskan waktunya membaca. Melalui buku-buku pinjaman, ia membaca karya sastra terbitan Balai Pustaka, cerita China, dan karya terjemahan Arab. 

Setelah rampung membaca, Buya Hamka menyalin versinya sendiri. Ia pernah mengirim surat cinta yang disadurnya dari buku-buku kepada teman perempuan sebayanya. 

Karena kehabisan uang untuk menyewa, Malik menawarkan diri kepada percetakan milik Bagindo Sinaro, tempat koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung, untuk mempekerjakannya. Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem sebagai perekat buku, sampai membuatkan kopi, tetapi sebagai upahnya, ia meminta agar diperbolehkan membaca koleksi buku yang akan disewakan. 

Dalam waktu tiga jam sepulang dari Diniyah sebelum berangkat ke Thawalib, Buya Hamka mengatur waktunya agar punya waktu membaca. Karena hasil kerjanya yang rapi, ia diperbolehkan membawa buku baru yang belum diberi karton untuk dikerjakan di rumah. 

Namun, karena Malik sering kedapatan membaca buku cerita, ayahnya menanyakan kepada dirinya apakah akan "menjadi orang alim nanti atau menjadi orang tukang cerita". Setiap mengetahui ayahnya memperhatikan, Buya Hamka meletakkan buku cerita yang dibacanya, mengambil buku agama sambil berpura-pura membaca.

Permasalahan keluarga membuat Malik sering berpergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, melakukan perjalanan ke Maninjau untuk mengunjungi ibunya. Malik didera kebingungan untuk memilih tinggal dengan ibu atau ayahnya. "Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri." 

Mengobati hatinya, Buya Hamka kecil mencari pergaulan dengan anak-anak muda Maninjau. Ia belajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya adalah mendengar kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan bersama alat-alat musik tradisional Minangkabau. 

Ia berjalan lebih jauh sampai ke Bukittinggi dan Payakumbuh, sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda. Hampir setahun ia terlantar hingga saat ia berusia 14 tahun, ayahnya merasa resah dan mengantarnya pergi mengaji kepada ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, sekitar lima kilometer dari Bukittinggi. 

Di Parabek, untuk pertama kalinya Hamka hidup mandiri. Di Parabek, Malik remaja berlajar memenuhi kebutuhan harian sebagai santri. 

Meskipun belajar menyesuaikan diri, Buya Hamka masih membawa kenakalannya. Buya Hamka pernah usil menakuti penduduk sekitar asrama yang mengaitkan wabah demam di Parabek dengan keberadaan hantu yang berwujud seperti harimau. Karena tak percaya dan ingin membuktikan bahwa hal tersebut hanya takhayul, ia menyamar menyerupai ciri-ciri hantu pada malam hari. 

Dengan mengenakan sorban dan mencoret-coret mukanya dengan kapur, Buya Hamka berjalan keluar 
asrama. Orang-orang yang melihat dan ketakutan berencana membuat perangkap keesokan hari, tetapi Buya Hamka segera memberi tahu teman seasramanya tentang keusilannya, meyakinkan bahwa hantu itu tidak ada. 

Selama berasrama, Buya  memanfaatkan hari Sabtu yang dibebaskan untuk keluar dengan pergi berkeliling kampung sekitar Parabek. Karena tertarik mendengar pidato adat, Malik sering menghadiri pelantikan-pelantikan penghulu, saat para tetua adat berkumpul. Ia mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi dalam pidato adat yang didengarnya. Demi mendalami minatnya, ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru.


Merantau

Buya Hamka sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau. Ayahnya memberinya julukan "Si Bujang Jauh" karena ia selalu menjauh dari orang tuanya sendiri. 

Dalam usia baru menginjak 15 tahun, Buya Hamka telah berniat pergi ke pulau Jawa. Ia melarikan diri dari rumah, tanpa diketahui ayahnya dan hanya pamit kepada anduangnya di Maninjau. 

Dari Maninjau, Buya Hamka memulai perjalanan dengan bekal ongkos pemberian anduangnya. Ia menempuh perjalanan melalui darat dengan singgah terlebih dahulu di Bengkulu, berencana menemui kerabat satu suku dari ibunya untuk meminta tambahan ongkos. 

Namun, dalam perjalananya, Buya Hamka didera penyakit beruntun. Ia ditimpa penyakit malaria saat sampai di Bengkulu. Dalam kondisi sakit dan tubuhnya mulai diserang cacar, Buya Hamka meneruskan perjalanan ke Napal Putih dan bertemu kerabatnya. 

Setelah dua bulan meringkuk menunggu kesehatannya pulih, kerabatnya memulangkan Malik ke Maninjau. Bekas luka cacar menyisakan bopeng di sekujur tubuhnya membuat Malik remaja minder dan dicemooh teman-temannya.

Pada Juli 1924, Malik kembali memulai perjalanannya ke Jawa. Ia menumpang di rumah Marah Intan sesama perantau Minang dan bertemu adik ayahnya, Jafar Amrullah di Yogyakarta. Pamannya itu membawanya ke tempat Ki Bagus Hadikusumo untuk belajar tafsir Al-Quran. Buya Hamka menemukan keasyikan belajar dengan Ki Bagus yang mengupas makna ayat-ayat Al-Quran secara mendalam. 

Dari Ki Bagus, Buya Hamka mengenal Sarekat Islam dan bergabung menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, ia menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik. Di antara gurunya waktu itu adalah HOS Tjokroaminoto, guru para pendiri bangsa dan Suryopranoto. 

Cokroaminoto menaruh perhatian kepada Malik karena semangatnya dalam belajar. Malik mengikuti kelas dengan tekun, sering bertanya dan menyalin pelajaran yang didapatnya.

Pergerakan Islam di Jawa telah memberi pengaruh besar bagi Buya Hamka. Dari pengalamannya di 
Yogyakarta, ia menemukan Islam sebagai suatu yang hidup, suatu perjuangan, dan suatu pendirian yang dinamis. 

Ketika perhatian umat Islam di Minangkabau terseret pada perdebatan praktik ritual Islam, ia mendapati organisasi dan tokoh-tokoh pergerakan di Jawa memusatkan diri pada perjuangan untuk memajukan umat Islam dari keterbelakangan dan ketertindasan. 

Setelah melewatkan waktu enam bulan di Yogyakarta, Buya Hamka ke Pekalongan untuk bertemu dan belajar kepada kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Pertemuannya dengan Sutan Mansur mengukuhkan tekadnya untuk terjun dalam perjuangan dakwah. 

Dari kakak iparnya, Malik mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai pertemuan  Muhammadiyah dan berlatih berpidato di depan umum.

Di Pekalongan, Buya Hamka bertemu ayahnya yang urung berangkat ke Mesir setelah ditundanya Kongres Kekhalifahan Internasional. Kegiatan Muhammadiyah menarik perhatian Haji Rasul sehingga saat kembali ke Minangkabau bersama Jafar Amrullah dan Marah Intan.

Haji Rasul kemudian menginisiasi pendirian Muhammadiyah di Sungai Batang. Perkumpulan yang telah berdiri lebih dulu bernama Sendi Aman bertukar nama menjadi Muhammadiyah untuk diakui sebagai cabang dari Yogyakarta. Dari sinilah Muhammadiyah menyebar ke seluruh daerah Minangkabau dengan bantuan bekas murid-muridnya.

Dalam rangka mempersiapkan mubalig dan guru Muhammadiyah, Haji Rasul menggerakkan murid-murid Thawalib membuka Tabligh Muhammadiyah di Sungai Batang. Malik memimpin latihan pidato yang diadakan kursus itu sekali sepakan. 

Ia membuatkan pidato bagi yang tak pandai mengarang. Pidato-pidato yang bagus ia muat dalam majalah Khatibul Ummah yang dirintisnya dengan tiras 500 eksemplar. Buya Hamka melengkapi dan menyunting bagian pidato yang diterimanya sebelum diterbitkan. 

Gurunya Zainuddin dan pemilik percetakan Bagindo Sinaro ikut membantu pembuatan dan distribusi majalah. Beberapa orang belajar kepada Malik membuat materi pidato. Dari kesibukannya menulis dan menyunting naskah pidato, Malik mulai mengetahui dan menuangkan kemampuannya dalam menulis. Namun, karena alasan keuangan, penerbitan Khatibul Ummah hanya bertahan tiga nomor.

Usaha memperkenalkan Muhammadiyah ke daerah Minangkabau memperoleh banyak tantangan dari 
kalangan Thawalib yang telah dipengaruhi komunis. Pengaruh paham itu mempengaruhi sikap murid-murid Thawalib terhadap Belanda secara radikal ketimbang ideologi yang berakar dari materialisme. 

Pada saat yang sama, golongan anti-komunis membatasi kegiatan mereka pada perjuangan pembaruan pendidikan tanpa menentang kedudukan Belanda secara terbuka. Peralihan perhatian ke bidang politik di kalangan guru dan pelajar Thawalib membuat Haji Rasul kecewa sehingga ia menolak mengajar di lembaga itu, walaupun lembaga itu kelak bersih dari golongan komunis.

Pada pengujung 1925, pengurus besar Muhammadiyah di Yogyakarta mengutus Sutan Mansur ke Minangkabau. Sejak itu, Buya Hamka selalu mendampingi Sutan Mansur berdakwah dan merintis cabang Muhammadiyah.Bersama Sutan Mansur, ia ikut mendirikan Muhammadiyah di Pagar Alam, Lakitan, dan Kurai Taji. 

Ketika Syekh Jalaluddin Rajo Endah IV Angkat menggantikan Syekh Mohammad Jamil Jaho sebagai ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang, Malik diangkat sebagai wakil ketua.


Penerimaan Saat Pulang dari Ibadah Haji

Meskipun disambut baik saat kepulangannya, Malik dianggap hanya sebagai tukang pidato dari pada ahli agama di kampung halamannya. 

Dalam membacakan ayat atau kalimat bahasa Arab, Buya Hamka dinilai tidak fasih karena tidak memahami tata letak bahasa, nahwu, dan sharaf. Kekurangannya dikait-kaitkan karena ia tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di Thawalib. 

Menurut kesaksian Hamka, ia memang kerapkali salah dalam melafalkan bahasa Arab, walaupun ketika menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hasil terjemahannya jauh lebih bagus dari pada teman-temannya. 

Buya Hamka berasa kecil hati dengan dirinya karena tidak ada pendidikan yang diselesaikannya. Ayahnya menasihatkan agar ia mengisi dirinya dengan ilmu pengetahuan karena "pidato-pidato saja adalah percuma". 

Saat Muhammadiyah membuka sekolah di Padang Panjang, ia bersama banyak teman-temannya yang pulang dari Jawa ikut melamar sebagai guru. Para pelamar diharuskan mengisi formulir yang menerangkan nama, alamat, dan pendidikan disertai lampiran bukti kelulusan seperti diploma atau ijazah. Pada hari pengumuman pelamar yang lolos sebagai guru, Malik tidak lolos karena tidak memiliki diploma. Hal ini menambah kekecewaan Malik sejak kepulangannya.

Kepada andungnya, Malik sering menceritakan kesedihan dan perasaannya. Dari andungnya, Malik diceritakan bahwa ayahnya pernah berjanji akan mengirimnya belajar ke Mekkah selama sepuluh tahun. 

Karena takut kepada ayahnya, Malik merencanakan sendiri kepergiannya ke Mekkah. Ia tak menuturkan ke mana hendak pergi kepada ayahnya, hanya berkata hendak pergi ke tempat yang jauh. Karena keterbatasan ongkos, Malik berjalan kaki dari Maninjau ke Padang. 

Ketika kapal yang membawanya singgah di pelabuhan Belawan, Buya Hamka bertemu temannya, Isa, yang membantu ongkos perjalanannya. 

Pada permulaan Februari 1927, bertepatan dengan keberangkatan jemaah haji Indonesia pada bulan Rajab, Buya Hamka berangkat dari Pelabuhan Belawan menuju Jeddah. 

Selama di kapal, ia amat dihormati lantaran kepandaiannya membaca Al-Quran. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan ajengan. 

Dalam memoarnya, Hamka mengenang dirinya ditawari kawin dengan seorang gadis Bandung yang memang telah menawan hatinya, tetapi ia menolak. Sewaktu itu, kata Hamka, biasa saja orang menikah di atas kapal.

Sampai di Mekkah, ia mendapat tumpangan di rumah pemandu haji "Syekh" Amin Idris. Untuk memenuhi biaya hidup, ia bekerja di percetakan Tuan Hamid Kurdi, mertua ulama Minangkabau Ahmad Chatib. 

Di tempat ia bekerja, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya. 

Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, ia bergabung dengan perkumpulan orang-orang Indonesia Persatuan Hindia-Timur. Ia memiliki bahasa Arab yang fasih. Ketika perkumpulan itu berencana menyelenggarakan manasik haji bagi jemaah Indonesia, Malik dipercaya memimpin anggota delegasi menemui Amir Faishal, putra Ibnu Saud dan Imam Besar Masjidil Haram Abu Samah. 

Pengajarannya berlangsung di kompleks Masjidil Haram. Malik sempat memberikan pelajaran agama sebelum ditentang oleh pemandu hajinya.

Ketika waktu berhaji tiba di tengah musim panas, Malik sempat ditimpa sakit kepala dan tak dapat berjalan ke mana-mana. Ia tak sadarkan diri hingga lepas tengah malam. 

Selepas menunaikan haji, ketika jemaah haji menurut kebiasaan menghadap Syekh masing-masing untuk dipasangkan sorban dan diberikan nama, Malik mengelak. Ia menyebut kebiasaan itu sebagai "perbuatan khurafat". Sempat berencana menetap di Mekkah, Malik memutuskan pulang setelah bertemu Agus Salim. 

Karena Agus Salim urung mengikuti Kongres Islam Sedunia yang batal diadakan, waktu yang dimiliki Agus Salim dimanfaatkan Malik untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan politik Indonesia. 

Hampir seminggu Malik menyediakan diri sebagai khadam atau pelayan saat Agus Salim menasihatinya untuk segera pulang. "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di Tanah Airmu sendiri", ujar Agus Salim ketika itu.

Karir

Malik kembali ke Tanah Air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya pulang ke Padang Panjang, ia memilih turun di Medan, kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang.

Medan menandai awal terjunnya Malik ke dalam dunia jurnalistik. Ia menulis artikel tentang  pengalamannya menunaikan ibadah haji untuk Pelita Andalas, surat kabar milik orang Tionghoa. 

Ia juga menulis, untuk pertama kalinya, mengenai Sumatra Thawalib dan gerakan reformasi Islam di Minangkabau, yang dipimpin ayahnya sendiri. 

Dari artikel-artikel awal itulah, Hamka menemukan suaranya sebagai jurnalis. Muhammad Ismail Lubis, pimpinan majalah Seruan Islam mengirimkan permintaan kepada Malik untuk menulis. 

Selain menulis untuk surat kabar dan majalah lokal, Malik mengirimkan tulisannya ke Suara Muhammadiyah pimpinan Abdul Azis dan Bintang Islam pimpinan Fakhroedin. 

Namun, karena penghargaan atas karya tulis saat itu masih demikian kecil, Malik mengandalkan honor dari mengajar untuk menutup biaya hidupnya. Ia memenuhi permintaan mengajar dari pedagang-pedagang kecil di Kebun Bajalinggi. 

Waktu itulah ia menyaksikan kehidupan kuli dari dekat yang kelak menggerakkannya menulis Merantau Ke Deli.

Sewaktu di Medan, kerabat dan ayahnya berkali-kali berkirim surat memintanya pulang. Buya Hamka baru memutuskan pulang setelah mendapat bujukan kakak iparnya, Sutan Mansur. Sutan Mansur singgah di Medan dalam perjalanan pulang dari Lhokseumawe pada akhir 1927. 

Buya Hamka menyusul ayahnya di Sungai Batang, karena rumah mereka di Padang Panjang luluh lantak akibat gempa bumi setahun sebelumnya. 

Setiba di kampung halamannya, Buya Hamka bertemu ayahnya secara mengharukan. Ayahnya terkejut mengetahui Malik telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya ketika itu sedang susah dan miskin." Penerimaan ayahnya membuat Buya Hamka sadar betapa besar kasih ayahnya terhadap dirinya. 

Di Sungai Batang, Malik menerbitkan romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah. Roman itu mulai disusunnya ketika di Medan. 

Ia menunjukkan Si Sabariyah pertama kali di depan ayahnya, Jamil Jambek, dan Abdullah Ahmad dengan membacakannya sewaktu mereka berkumpul dalam Rapat Besar Umat Islam di Bukittinggi pada Agustus 1928. 

Dari Abdullah Ahmad, ia mendapat motivasi untuk terus mengarang dengan memasukkan nilai-nilai agama ke dalam roman-romannya. Ketika terbit, Si Sabariyah laris di pasaran hingga dicetak tiga kali. Kenyataan ini melecut semangatnya dalam melaksanakan kewajiban dakwah melalui tulisan. 

Tumbuh kepercayaan dirinya bahwa ia memiliki kualitas tersendiri karena menguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan. Dari honor Si Sabariyah, Malik membiayai pernikahannya kelak. 

Setelah menikah, Malik menulis kisah Laila Majnun yang dirangkai Malik "dengan khayalannya" setelah membaca hikayat Arab "dua halaman". Pada 1932, Balai Pustaka, penerbit utama kala itu menerbitkan Laila Majnun dengan ketentuan perubahan ejaan dan nama tokoh. 

Penerimaan Balai Pustaka membesarkan hatinya dan memacunya untuk lebih giat lagi menulis dan mengarang.


Keluarga

Menebus rasa bersalah, Hamka bersedia memenuhi permintaan ayahnya untuk dinikahkan. Ia menikah dengan Sitti Raham pada 5 April 1929. Pada 5 April 1929, Hamka menikahi Sitti Raham. Ia menjadi ayah dari dua belas anak, dua di antara mereka meninggal saat masih balita.


















Sampai Mei 2013, Hamka memiliki 31 cucu dan 44 cicit. Ketika menikah dengan Sitti Raham, Hamka berusia 21 tahun, sementara Raham masih berusia 15 tahun. 

Raham adalah anak dari salah seorang saudara laki-laki ibunya. Setelah Raham meninggal pada 1 Januari 1972, Hamka menikahi Sitti Khadijah asal Cirebon pada Agustus 1973.

Dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka, Rusydi Hamka mengisahkan saat-saat keluarga mereka melewati masa-masa kemiskinan. "Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain," tulis Rusydi. 

Selain itu, sebagai seorang mamak dalam hubungan kekerabatan masyarakat Minang,  Hamka pada saat bersamaan memiliki tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya. 

Anak pertama Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun. Anak ketiga Hamka, Rusydi dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. 

Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Hamka tidak mewarisi bakat berbisnis. Di tengah kondisi kekurangan, Hamka memilih bekerja di Medan untuk Pedoman Masyarakat pada 1936.


Jadi Ketua Umum Muhammadiyah

Setelah tiga bulan menikah, Buya Hamka bersama istrinya pindah ke Padang Panjang. Dalam kepengurusan Muhammadiyah, ia menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Padang Panjang dan merangkap sebagai pimpinan Tabligh School setingkat madrasah tsanawiyah yang diadakan Muhammadiyah. 

Pengajarannya menempati gedung Muhammadiyah di Guguk Malintang setiap selasa malam dan dihadiri banyak orang. Sebagai wadah pembentukan kader-kader Muhammadiyah, mata pelajaran Tabligh School berkisar tentang kepemimpinan, strategi dakwah, dan penyebaran dakwah Muhammadiyah. Buya Hamka mengajar bersama Sutan Mansur dan Sutan Mangkuto. 

Caranya mengajar dianggap baru, berbeda dengan yang lain. Salah seorang muridnya, Malik Ahmad kelak menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah.

Ketika diadakannya Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada awal 1929, Buya Hamka datang sebagai peserta. Sejak itu, ia tidak pernah absen menghadiri Kongres Muhammadiyah berikutnya. 

Dalam kunjungannya di Solo, ia bertemu dengan tokoh pimpinan Muhammadiyah, Fakhruddin. Hamka menyebut Fakhruddin sebagai salah seorang yang mempengaruhi jalan pikirannya dalam agama. "Keberanian dan ketegasannya menjadi pendorong bagi saya untuk berani dan tegas pula." Dalam perjalanannya di Bandung, Hamka bertemu A. Hassan dan Mohammad Natsir. 

Ketika Muhammadiyah mengadakan Kongres di Bukittinggi pada 1930, Buya Hamka berpidato tentang "Agama Islam dalam Adat Minangkabau". 

Dalam kongres yang bersifat nasional, baru Hamka sebagai pembicara yang mencoba mempertautkan adat dengan agama. Pada kongres Muhammadiyah ke-20 tahun berikutnya di Yogyakarta, Buya Hamka menyampaikan pidato mengenai perkembangan Muhammadiyah di Sumatra. 

Ia mampu memukau sebagian besar peserta kongres yang hadir. Pidatonya membuat banyak orang yang menitikkan air mata. Pada 1931, usai membuka cabang Muhammadiyah di Bengkalis, ia dipercayakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar.

Selama di Makassar, Hamka sempat menerbitkan Majalah Islam Tentera sebanyak empat edisi dan majalah Al-Mahdi sebanyak sembilan edisi. Keberadaan Malik di Makassar dimanfaatkan oleh pimpinan Muhammadiyah setempat.[20] Malik mendirikan Tabligh School yang serupa di Padang Panjang. Menggantikan sistem pendidikan tradisional, Tabligh School menawarkan pola pendidikan baru secara modern dan sistematis dengan mengambil model pendidikan barat, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai agama. 

Sepeninggal Hamka pada 1934, Tabligh School di Makassar diteruskan menjadi Muallimin Muhammadiyah di bawah asuhan Muhammadiyah. Dari pergaulannya dengan masyarakat Makassar, ia mendapat inspirasi dalam menulis novelnya kelak, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.

Kembali ke Padang Panjang pada 1934, Malik diserahi untuk memimpin Kulliyatul Mubalighin sebagai ganti Tabligh School yang mengalami kemunduran sepeninggalnya. Dengan lama belajar tiga tahun, lembaga ini dimaksudkan untuk menyiapkan mubalig dan guru sekolah menengah tingkat tsanawiyyah. Melalui Kulliyatul Mubalighin, ia mengajarkan murid-murinya berpidato dan mengarang.

Pada 1934, ia diangkat menjadi anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah yang meliputi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau.



Menulis Pada Pedoman Masyarakat

Dari pengalamannya di Padang Panjang dan Makassar, Hamka merasa bakatnya sebagai pengarang lebih baik ia manfaatkan ketimbang menjadi guru. Pada Januari 1936, Hamka berangkat ke Medan, memelopori jurnalistik Islam dan menekuni karang-mengarang. Ia memenuhi permintaan Muhammad Rasami, tokoh Muhammadiyah Bengkalis untuk memimpin Pedoman Masyarakat di bawah Yayasan Al-Busyra pimpinan Asbiran Yakub. 

Kulliyatul Mubalighin yang ditinggalkannya diteruskan oleh Abdul Malik Ahmad sampai 1946. Pedoman Masyarakat beroplah 500 eksemplar ketika terbit perdana pada 1935. Oplahnya melonjak hingga 4.000 eksemplar setelah Malik menjadi pemimpin redaksi pada 22 Januari 1936. 

Majalah itu mengupas pengetahuan umum, agama, dan sejarah. Melalui kedudukannya sebagai pemimpin redaksi, Hamka menjalin hubungan intelektual dengan sejumlah tokoh pergerakan. Pada Februari 1936, ia menyindir sikap pemerintah kolonial terhadap Hatta dan Sjahrir dengan mengasingkan mereka ke Boven Digul. Melalui Pedoman Masyarakat pula, Malik untuk pertama kalinya memperkenalkan nama pena "Hamka".

Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung. Mengangkat masalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah. Hamid terhalang menikahi Zainab karena perbedaan status antara kedua keluarga. Melihat animo masyarakat yang luas, Balai Pustaka menerbitkan Di Bawah Lindungan Ka'bah pada 1938. 

Setelah Di Bawah Lindungan Ka'bah, Hamka menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tentang percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir dengan kematian. Sewaktu dimuat sebagai cerita bersambung, Hamka menuturkan ia mendapat banyak surat dari pembaca, sebagian meminta agar Hayati hati "jangan sampai dimatikan", sebagian mengungkapkan kesan mereka "seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri". Namun, sejumlah pembaca Muslim menolak Van Der Wijck karena menurut mereka seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Ia pernah dijuluki kiai cabul. 

Hamka membela diri lewat tulisan di Pedoman Masyarakat pada 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Ia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.



Pendudukan Jepang dan Pasca Kemerdekaan

Setelah Jepang mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda dan menduduki Medan pada 13 Maret 1942, majalah Pedoman Masyarakat berhenti terbit.[31] Sembari memfokuskan perhatiannya memimpin Muhammadiyah, Hamka berusaha mempertahankan Muhammadiyah dari pembubaran.

Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada 1944, Jepang mengangkatnya menjadi anggota Chuo Sangi-in untuk Sumatra, yaitu menjadi penasehat dari Chuokan Sumatra Timur Letnan Jendral T. Nakashima. Ia menerima pengangkatannya karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, sikap kompromistis dan kedudukannya dalam pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka terkucil, dibenci, dan dipandang sinis oleh masyarakat. 

Hamka mengungkapkan bahwa bulan Agustus sampai Desember 1945 adalah masa yang paling pahit selama hidupnya, berada di tengah kebencian dan penghinaan sampai-sampai di depan anak-anaknya ia berkata, "sekiranya tidak ada iman, barangkali ayah sudah bunuh diri." Hal ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padang Panjang. Hamka tiba di Aur Tajungkang, Bukittinggi pada 14 Desember 1945.

Kembali ke Sumatra Barat, Hamka menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki tangan penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Pada masa ini terbit buku-bukunya, seperti Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita.


Ketika berlangsung Konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang pada 22 Mei 1946, Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatra Barat, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto yang diangkat menjadi Bupati Solok. Posisi sebagai ketua Muhammadiyah membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam.

Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda ke Tanah Air. Selama perang kemerdekaan, Hamka bersama para pemimpin dan para pejuang lainnya ambil peranan melawan Belanda. Menurut Emzita, seorang jurnalis yang mengikuti perang gerilya pasca-kemerdeaan, Hamka melakukan kegiatan "tablig revolusi". Ia menjadi penghubung krusial di antara ulama dengan kelompok-kelompok pejuang. 


Hamka ikut mendirikan Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK), pasukan rakyat yang besar sekali peranannya dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda di Sumatra Barat. Ia bergerilya masuk-keluar hutan, mengelilingi hampir seluruh nagari di Sumatra Barat dan Riau untuk mengobarkan semangat perjuangan. Tatkala Front Pertahanan Nasional (FPN) dibentuk secara resmi di Sumatra Barat pada 12 Agustus 1947,[33] Hamka ditunjuk oleh Muhammad Hatta sebagai salah seorang pimpinan. Bersama-sama dengan pimpinan FPN lain, yaitu Khatib Sulaiman, Rasuna Said dan Karim Halim, FPN di Sumatra Barat berhasil menghimpun tidak kurang dari 500.000 pemuda yang berusia antara 17–35 tahun.

Saat tentara Belanda menduduki Padang Panjang tahun 1948, Hamka mengungsikan keluarganya ke Sungai Batang. Selama berbulan-bulan, Hamka tak bertemu anak-anaknya. Putra Hamka, Rusydi Hamka menuturkan, mereka hanya bisa memakan ubi dan bubur. "Waktu itulah, Aliyah nyaris menemui ajalnya karena terlalu sering mengkonsumsi ubi, membuat Aliyah terserang penyakit."


Berpindah ke Jakarta

Pada bulan Desember 1949, Hamka pindah bersama keluarganya ke Jakarta. Ia semula menyewa rumah milik keluarga Arab di Jalan Toa Hong II, Kebun Jeruk.[37] Untuk memulai hidup, Hamka mengandalkan honorarium buku-bukunya yang diterbitkan di Medan sambil mengirim tulisan untuk surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan. Dalam surat kabar Abadi, Hamka mengasuh rubrik "Dari Perbendaharaan Lama" yang terbit dalam edisi Minggu. Beberapa karangannya sempat terbit di majalah Mimbar Indonesia yang dipimpin H.B. Jassin dan majalah Hikmah.

Ia diangkat sebagai pegawai Kementerian Agama yang pada waktu itu menterinya dipimpin KH Wahid Hasyim. Ia diserahi tugas mengajar di beberapa perguruan tinggi Islam. Di antaranya Universitas Islam Jakarta, PTAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Universitas Muslim Ujungpandang. Hamka banyak diundang ke berbagai tempat untuk ceramah.

Pada 1950, usai menunaikan ibadah haji, Hamka mengunjungi beberapa negara Arab dan mendapatkan banyak inspirasi untuk menulis. Ia menulis tiga romannya yakni Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajjah. Sejumlah konferensi internasional mendapuk Hamka sebagai pembicara mewakili Indonesia. Pada 1952, ia mendapat undangan dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk mengadakan kunjungan ke negara itu. 

Dari kunjunganya, ia mengarang buku Empat Bulan di Amerika. Pada 1953, ia mengikuti Misi Kebudayaan RI ke Muangthai dipimpin Ki Mangunsarkoro. Pada 1954, ia berangkat ke Burma mewakili Departemen Agama dalam perayaan 2.000 tahun wafatnya Siddhartha Gautama.

Berstatus sebagai pegawai pemerintah, Hamka pada saat yang sama terjun dalam kancah politik. Ia bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menginginkan perjuangan Islam melalui mekanisme konstitusional. Namun, aktivitasnya di dunia politik belakangan menyebabkannya harus mengundurkan diri sebagai pegawai Departemen Agama. Soekarno meminta para pegawai untuk memilih tetap menjadi pegawai atau anggota partai.

Pada pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah. Dalam sidang-sidang Konstituante, ia menyampaikan pidato tentang bahasa, hak-hak azasi manusia, dan dasar negara. Hamka tampil sebagai salah seorang penanggap pidato Presiden Soekarno berjudul "Republika" (yang mengajak kembali ke UUD 1945 dan ide "kabinet kaki empat"). Ia menolak gagasan Presiden Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin. 

Ketika terjadi perdebatan mengenai dasar negara, Hamka bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari secara konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Hamka mengemukakan kelebihan Islam dari Pancasila, malah dari dasar apapun di dunia. Ia meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila mencerminkan gaya hidup ataupun falsafah hidup orang Indonesia sekalipun ia menghargai usaha mereka yang hendak meyakinkan ini. 

Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Perdebatan itu berujung pada dikeluarkannya Dekrit Presiden.



Membangun Masjid Agung Al-Azhar

Pada tahun 1956, Hamka membangun sebuah rumah kediaman untuk anak dan istrinya di Jalan Raden Patah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. 

Di depan rumahnya direncanakan akan dibangun sebuah masjid yang digagas oleh tokoh-tokoh Masyumi, tetapi panitia pembangunan belum mendapatkan tokoh yang tepat untuk menjadi penanggung jawab dan imam masjid tersebut. Pada saat itulah Ghazali Syahlan dan Abdullah Salim yang diberi tugas mencari tokoh tersebut menghadap Hamka untuk meminta kesediaannya. Permohonan ini diterima oleh Hamka. 

Dalam suatu pertemuan, ia menyarankan agar masjid itu dibangun terlebih dahulu dan juga menyarankan agar bangunannya disertai dengan ruang kantor, ruang pertemuan, dan ruang perkuliahan yang dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya.

Sebelum pembangunan masjid itu selesai, Hamka menghadiri undangan sebuah konferensi Islam dari Universitas Punjab di Lahore, Pakistan pada Januari 1958. Ia hadir sebagai delegasi Indonesia dalam simposium Islam di Lahore bersama Hasbi Ash-Shieddiqy dan KH Anwar Musaddad.

Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Kairo, Mesir sebagai tamu kenegaraan bersamaan dengan Soekarno, yang kebetulan ketika itu sedang berkunjung ke Mesir. Dalam kunjungannya ke Kairo, ia memenuhi undangan Forum Dunia Islam untuk memberikan ceramah di Universitas Al-Azhar pada Februari 1958. Di gedung Asy-Syubbanul Muslimun, Hamka menyampaikan pidato tentang pengaruh paham Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya. 

Hamka menguraikan tentang kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern di Indonesia seperti Thawalib, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Dalam ceramahnya ia mendapat sambutan luas dari kalangan akademik dan intelektual Mesir karena pemaparannya yang dinilai sangat baik tentang pengaruh paham Muhammad Abduh terhadap masyarakat Muslim di Asia Tenggara, yang di Mesir sendiri sangat terbatas sekali yang mengenalnya. Setelah memberikan ceramahnya, ia melanjutkan perjalanan ke Mekkah, Jeddah, dan Madinah. 

Ketika memenuhi undangan dari pihak istana Kerajaan Arab Saudi, ia menerima berita dari Mesir yang menyatakan bahwa Universitas Al-Azhar telah mengambil keputusan hendak memberinya gelar Ustadziyah Fakhriyyah, gelar ilmiah tertinggi dari universitas itu yang setara dengan Doktor Honoris Causa.

Pada Desember 1960, Syekh Mahmud Shaltut, Imam Besar Al-Azhar, beserta rombongan datang ke Indonesia sebagai tamu kenegaraan. Dalam lawatan ini, Mahmud Shaltut meninjau Masjid Agung Kebayoran Baru.***


Biografi Buya Hamka, Ulama, Jurnalis dan Sastrawan Indonesia Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Andita

0 comments:

Post a Comment