Profil Jaya Suprana dulu Pedagang Buku Bekas dan Tukang Bubut
Siapa yang tak kenal dengan Jaya Suprana? Lantaran berbagai aktivitas dan kerja profesionalnya, nama Jaya telah dikenal banyak orang sebagai salah satu tokoh penting di Indonesia. Sebagai tokoh, keberadaannya juga telah diakui oleh dunia internasional lewat banyak media berbobot dunia macam Die Welt, Los Angeles Times, The Guardian, Wall Street Journal, dan Straits Time.
Lantas, apa yang Anda bayangkan pertama kali ketika mendengar namanya, selain—tentu saja—soal pendirian Museum Rekor Indonesia atau MURI? Di sini, selain mendirikan satu hal besar itu, nama Jaya juga mewakili banyak macam gairah hidup yang baik seperti pengusaha, pembicara, presenter, penulis, kartunis, pemain piano, hingga pencipta lagu.
Namun, sebagaimana yang seharusnya terjadi secara berpola dalam hidup ini, pencapaian dan keberhasilan membutuhkan modal besar. Dan Jaya Suprana benar-benar mengakrabi modal itu: sepanjang hidupnya, ia selalu bekerja keras tanpa lelah.
Sebelum menyandang berbagai macam predikat seperti sekarang, hidup Jaya benar-benar memprihatinkan. Dulunya, ia hanya meneruskan usaha jamu yang diwarisi oleh keluarganya secara turun-temurun. Lantaran konsisten dengan sikap prihatin dan mau bersusah payah, lelaki berkacamata tebal yang lahir di Bali itu lantas punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan di luar negeri, yakni Jerman.
Hanya saja, di sana, ia sama sekali tak bersenang-senang. Tak seperti banyak mahasiswa luar negeri dengan orang tua yang tajir, untuk tetap dapat menghidupi diri sendiri di tanah orang, Jaya rela menjadi tukang bubut, tukang pasang ubin, hingga menjaga kafetaria mahasiswa. Itu ia lakukan tanpa rasa malu sama sekali. Bahkan, semasa muda sebelum ia bertolak ke Jerman pula, Jaya pernah menjadi pedagang buku bekas di bilangan Semarang.
Baru setelah ia pulang menuntut ilmu dari Jerman itu, kerja kerasnya mulai terbayar. Setelah selama delapan tahun
yang monoton, Jaya hanya menjadi seorang pekerja di perusahaan jamu milik keluarganya sendiri, jabatannya lalu naik menjadi presiden komisaris. Di titik inilah, nasib mujur semakin berpihak ke hidupnya.
Singkat kata, pada Januari 1970, berdekatan dengan Museum Jamu Jago miliknya, Jaya mendirikan MURI untuk menghimpun semua prestasi, perilaku, dan kegiatan yang unik, langka, dan kreatif di Indonesia. Kini, museum bikinannya itu telah menjadi objek wisata resmi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Mulai dari situ, di Indonesia, nama Jaya dikenal di mana-mana.
Maka, sebagai pengusaha, ia telah sukses menjalankan urusannya lewat Perusahaan Jamu Jago miliknya. Di sisi lain, namanya juga disematkan sebagai gambaran seorang manusia multidimensional sebagiamana yang disebut di awal tulisan ini.
Selain mendirikan MURI dan menjadi presiden komisaris sebuah perusahaan besar, Jaya telah mendapatkan puluhan penghargaan nasional maupun internasional dalam bidang seni musik (dari Freundeskreis des Konservatoriums Muenster, Jerman, dan dari Pangeran Bernhard, Belanda), kebudayaan (Budaya Bhakti Upapradana), komputer (Best in Personal Computing Award 1995 dari Apple Macintosh Inc.), hingga industri-bisnis (The Best Executive Award 1998).
Namun, terlepas dari semua itu, segala pencapaian Jaya tak membuatnya lupa diri. Menjadi manusia yang menyandang kekayaan, popularitas, dan kepandaian di saat yang sama, Jaya dikenal sebagai manusia filantropis. Di tanah warisan almarhumah ibunya seluas seluas 900 m2 di kawasan Candi Baru, Semarang, Jaya Suprana membangun Panti Asuhan Rotary-Suprana. Di sana, ia mengurusi hidup banyak anak-anak kurang mampu.
Baginya, segala pencapaian tetaplah hanya pencapaian. Jaya Suprana benar-benar mengingat nasihat almarhum ayahnya, bahwa hidup hanya “menunggu mati saja dan siap pergi ke surga”.
0 comments:
Post a Comment