Kisah Pelukis Difabel Anggota AMFPA asal Madiun
Agus Yusuf (53) masih mengingat saat ia harus tertatih-tatih dengan keringat mengucur, karena berjalan tiga kilometer dengan satu kaki menuju bangku sekolah dasar empat puluh enam tahun silam. Meski terlahir tanpa tangan, memiliki satu kaki, Agus tak pernah patah semangat menimba ilmu.
Tak hanya sekadar menimba ilmu, tekad kuat Agus untuk bisa bertahan menjadikannya sebagai sebagai salah satu seniman terhebat di nusantara. Mengandalkan mulut dan kaki kirinya, Agus mampu menciptakan karya-karya lukisan yang luar biasa.
Bahkan, lantaran keandalan melukisnya, Agus bisa pameran dan gratis keliling dunia. Sore itu, menggunakan mulut dan kaki kirinya secara bergantian, Agus menuangkan goresan lukisan bunga mawarnya di kain kanvas.
Untuk melukis dengan mulutnya, gigi pria paruh baya ini menggigit kuat kuas bergagang kayu. Kuas kayu yang sudah digigit lalu dicolekan ke bawah di tempat cat minyak.
Untuk mendapatkan warna yang diinginkan, ia mengombinasikan antara satu warna dengan warna lainnya. Setelah warna cat minyaknya diperoleh sesuai keinginannya, moncong kuas mulai digerakkan dengan mulutnya, di kain kanvas. Kepalanya bergerak gemulai mengikuti sapuan kuas di atas kanvas.
Selesai menggores cat minyak, Agus terdiam sejenak mengamati hasil lukisannya. Tak berapa lama kemudian, Agus kembali mengarahkan kuas ke tempat cat lalu melanjutkan sapuan kuasnya ke kain kanvas. Sejak kecil, Agus sudah terbiasa melukis dengan bantuan mulut dan satu kakinya lantaran ia terlahir tanpa tangan.
Meski demikian, sapuan cat minyak karya Agus tidak beda dengan pelukis-pelukis dengan anggota tubuh normal. Karya lukis Agus cenderung beraliran naturalis. Namun, beberapa tahun terakhir, Agus sudah menguasai aliran realis.
Sejumlah lukisan indah mulai dari pemandangan alam, buah-buahan, hingga lukisan foto Presiden Jokowi terpajang di rumah besarnya yang berada di Desa Sidomulyo, Sawahan, Kabupaten Madiun. Sejak berkarya, sudah lima ratusan lukisan diciptakan mulut dan satu kakinya.
Kekurangan fisik yang dialaminya bukan jadi penghalang. Lewat motivasi kedua orangtuanya, Joyo Sutarto dan Suyati, Agus ditekankan untuk semangat menimba ilmu meski kondisi fisiknya terbatas.
Agus saat itu bersekolah hingga lulus SMP bersama anak-anak normal lainnya. “Saya selalu memiliki semangat, meski saya difabel, saya harus bisa mandiri. Saya tidak lanjut sekolah karena adik-adik saya juga mau masuk sekolah. Sedangkan kemampuan ekonomi orangtua saya pas-pasan,” ujar Agus, yang memiliki tujuh saudara kandung itu, kepada Kompas.com, Rabu (19/6/2019).
Meski memiliki keterbatasan fisik, sejak kecil Agus memperlihatkan bakat kemampuannya melukis. Menggunakan mulut dan kaki, Agus mampu menciptakan lukisan layaknya pelukis dengan kondisi fisik normal.
“Prinisp saya orang normal bisa, maka saya terpacu, bagaiamana cara saya bisa sama,” kata Agus. Untuk belajar melukis dengan mulut dan kakinya, Agus membutuhkan waktu seminggu untuk penyesuaian. Agus mengombinasikan gerakan melukis secara bergantian dengan mulut dan kaki kirinya.
“Kalau pakai mulut bisa luwes. Tetapi, kalau kaki hanya beratnya semakin lama sering pegel. Makanya saya kombinasi, kalau capek pakai mulut, maka pakai kaki. Sebaliknya. Tetapi saya lebih nyaman pakai mulut,” ujar Agus.
Kehebatan melukis dengan menggunakan mulut dan kakinya mulai diakui ketika Agus pertama kali mengikuti lomba lukis saat duduk di kelas V SDN Sidomulyo II, Madiun. Dalam lomba tingkat kecamatan itu ia menyabet juara satu.
“Saat itu saya melukis burung garuda dan pohon beringin. Setelah itu, saya mewakili kecamatan dan meraih juara di tingkat kabupaten. Tentunya saya senang sekali karena lukisan saya bisa menjadi juara meski saya dalam kondisi seperti ini,” kenang Agus.
Tetangganya itu lalu menunjukkan majalah yang memuat tentang Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA) dari Swiss, mencari orang yang bisa melukis dengan mulut dan kaki. Mendapatkan informasi itu, Agus tergerak langsung mengirim enam lukisan terbaiknya ke cabang yayasan AMFPA yang berada di Jakarta.
Setahun kemudian, gayung bersambut. Setelah melihat karya Agus, tim survei yang datang langsung dari Swiss mengapresiasi karya pelukis berkebutuhan khusus tersebut. Saat itu pula, Agus diterima sebagai calon anggota (student member) AMFPA mulai September 1989. “Saya sangat bersyukur dan senang.
Cita-cita dan harapan orangtua saya akhirnya mulai terwujud,” ungkap Agus. Tak hanya bangga diterima sebagai calon anggota AMFPA, Agus saat itu sempat bertemu dengan Ibu Negara, Tien Soeharto (Istri Presiden Kedua RI, Soeharto).
Tak sekadar bertemu, salah satu lukisannya dibubuhkan tanda tangan Ibu Tien. Beberapa tahun kemudian, Presiden Soeharto juga membubuhkan tanda tangan di lukisan Agus saat acara di Malang.
Tak berpuas diri, Agus ingin meningkatkan kualitas melukisnya lantaran ingin mengejar keanggotaan penuh di AMFPA. Sebab, keanggotaan AMFPA memiliki tiga tingkatan mulai dari calon, anggota, hingga anggota penuh (full member).
Ia pun lalu mengundang beberapa relasinya dosen jurusan seni dari Universitas Negeri Surabaya dan Universitas Negeri Sebelas Maret Solo untuk datang ke rumah membekali pengetahuan tentang melukis. Apalagi, setelah resmi menjadi calon anggota, Agus diwajibkan mengirimkan tiga lukisan setiap tiga bulannya.
Berbekal ilmu, keuletan dan kerja kerasnya, 24 tahun kemudian tepatnya tahun 2013, Agus meraih kategori associate member (anggota) di perkumpulan pelukis mulut dan kaki yang berpusat di Swiss tersebut. Seteleh masuk AMFPA, Agus sering diundang ke luar negeri berkat lukisannya yang indah.
Lukisan Agus layak bersanding dengan karya pelukis-pelukis difabel seluruh dunia. Kini, bersama sembilan pelukis difabel Indonesia yang masuk AMFPA, Agus terus berkarya setiap harinya.
Meski sudah hidup mapan dengan menjadi anggota AMFPA, Agus masih memiliki satu cita-cita yang diinginkan. Setelah bergelut dalam dunia lukisan hingga puluhan tahun, Agus belum pernah menggelar pameran tunggal hasil karyanya. Padahal, sudah ratusan lukisan tercipta dari hasil karya mulut dan kakinya.
“Ke depan saya sangat bercita-cita mengadakan pameran tunggal di luar kota,” kata Agus. Dalam waktu dekat, Agus mengikut pameran di Yogyakarta (Juli), Galeri Affandi Yogyakarta (Agustus), pameran di Salatiga (September) dan Surabaya (Oktober).
Untuk meraih cita-citanya, Agus terus berkarya di rumah besarnya. Bersama, Sri Rohmatiah istrinya, Agus terus berkarya setiap hari. Dari karya yang ia kirim ke AMFPA, ia mendapatkan insentif bulanan yang bisa dijadikan penghasilan tetap untuk menghidupi keluarga, membangun rumah, hingga membeli mobil.
Sejak berkecimpung di dunia lukis, Agus pernah ikut pameran di Taiwan, Hongkong, Thailand, Singapura, Malaysia, Austria dan Spanyol. Dari pameran itu, banyak lukisan karyanya yang laku dibeli orang. “Saya ingat waktu pameran di Taiwan tahun 1998, lukisan wayang bimo saya terjual Rp 3 juta,” kata Agus.
Ia pun merasa bersyukur dengan kondisi difabel malah bisa keliling dunia dengan karya lukisannya. “Saya bersyukur kepada Allah SWT karena kami dikasih kekurangan tetapi malah diberikan jalan keluar menuju kesuksesan, meski dalam kondisi seperti ini,” ujar Agus.
Agus berpesan kepada orangtua yang memiliki anak senasib dengan dirinya tidak patah semangat. Sebab, setiap kerja keras dan usaha yang dilakukan akan selalu mendulang kesuksesan di kemudian hari.
0 comments:
Post a Comment