Sunday, August 19, 2018

Kisah Dokter di Solo, Tak Pernah Pasang Tarif bahkan Gratiskan Obat untuk Pasien


 Kisah Dokter di Solo, Tak Pernah Pasang Tarif bahkan Gratiskan Obat untuk Pasien

Apa yang terlintas di benak kamu saat mendengar profil orang sukses? Mungkin sebagian akan menjawab punya harta yang berlimpah, cabang perusahaan di mana-mana, aset kekayaan yang tidak habis tujuh turunan yang semuanya dinilai dari segi materi.  

Namun, kesuksesan nyatanya tak hanya dilihat dari sudut pandang itu bukan, di luar sana banyak yang berpikir jika 'kebahagiaan' merupakan bagian dari sukses apalagi saat bisa membantu orang yang membutuhkan. 

Hal tersebut ternyata dilakukan langsung oleh dokter di kota Solo, Jawa Tengah bernama Lo Siaw Ging. Sejak tahun 1986 ia tidak pernah menetapkan tarif bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak dimintai bayaran.  

Karena kedermawanannya ini, ia diberikan penghargaan bidang kemanusiaan oleh Pemerintah Solo pada 2009, bahkan pada 2019 saat ia jatuh sakit, banyak masyarakat yang memberikan doa untuk kesembuhan dokter Lo karena jasa tulusnya membantu warga yang tidak mampu. Nah, bagaimana perasaan kamu saat dicintai oleh banyak orang? 

Dokter lulusan Universitas Airlangga, Surabaya itu merasa puas jika berhasil mengobati pasien. Di usianya yang menginjak 85 tahun ia masih aktif membuka praktik di rumah pribadi kawasan Purwodiningrat, Jagalan, Jebres, Solo. 

Baginya, uang bukan ukuran untuk seorang dokter mebedakan pasien. Sebenarnya inspirasi tersebut datang dari sang ayah yang berpesan sebelum Lo  mengambil kuliah jurusan Kedokteran, saat itu ayahnya hanya berkata, 

“Kalau ingin jadi dokter ya harus menolong sesama. Menolong orang yang tidak mampu, jangan mencari keuntungan. Kalau mau kaya ya berdagang saja, jadi pengusaha jangan dokter.” 

Alhasil ucapan itu selalu dipakai sebagai prinsip hidup dokter yang melanjutkan S2-nya di Universitas Indonesia ini. 

Berbalas Budi jadi Kunci Hidup dr. Lo

Sikap yang ia jalani tidak harus diikuti oleh penerusnya di bidang kedokteran, karena zaman dahulu ketika ia menempuh pendidikan dokter di Universitas Airlangga hingga lulus pada tahun 1962, tidak serupiah pun ia mengeluarkan uang untuk biaya pendidikan, semua ditanggung oleh pemerintah.  

Setelah lulus, ia langsung mendapat gaji dari pemerintah untuk mengabdikan ilmunya kepada masyarakat. Karena itulah Lo merasa harus tahu diri dan berbalas budi.  

Namun sekarang untuk bisa mengenyam pendidikan Kedokteran saja memerlukan biaya yang sangat besar, jadi tak heran jika profesi ini banyak diharapkan untuk bisa mendulang kekayaan. 

Jika digambarkan dari 10 pasien yang ia periksa hanya 4 orang yang membayar jasanya tersebut secara suka rela. Namun, ia tak pernah mempermasalahkan hal itu karena tujuan dari awal hanya untuk menolong orang.  

Bahkan, saat melakukan tugas di Gunung Kidul warga di sana tidak ada yang membayar dengan uang melainkan makanan hasil panen. Walau terdengar seperti cerita di film nyatanya itu yang dialami langsung oleh dr.Lo.  

“Dokter Lo yang membantu ibu hingga aku lahir, karena tak punya uang ibu membayar dengan setandan pisang. Semoga kebaikan beliau dibalas Allah SWT” tulis Kristin Abimana dalam salah komentar yang memuat wawancara dengan dokter Lo di Metronews. 

Dilansir dari Kompas, karena cara kerjanya membuat dr.Lo setiap bulan justru harus membayar tagihan dari apotek sebesar ratusan ribu hingga Rp 10 juta per bulan.  

Hal ini tidak terhindarkan karena ada pasien yang benar-benar tidak punya uang untuk menebus obat, kalau sudah begitu Lo akan menuliskan resep dan meminta keluarga untuk menebusnya ke apatek yang sudah menjadi langganan. 

Tetap Bertahan saat Kerusuhan 1998

Di kalangan warga Solo, mantan direktur RS Kasih Ibu ini dikenal sebagai sosok yang yang selalu bersedia menolong siapa pun yang membutuhkan. Tak heran, saat kerusuhan rasial di Solo pada Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh warga setempat. 

Bahkan masyarakat meminta dia untuk tidak membuka praktik mengingat situasinya sangat rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak dengan alasan saat  kritis justru banyak orang yang butuh jasanya untuk menolong. 

Meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi ke wilayah yang lebih aman, Lo tetap menolak. Maka wargalah yang kemudian berjaga-jaga di rumah dokter itu agar tak menjadi sasaran.  

Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki seorang anak. 

Rasa syukur dan ketulusan membantu sesama sudah sepantasnya menjadi pembelajaran dari kisah dokter Lo Siaw Ging ini.

Kisah Dokter di Solo, Tak Pernah Pasang Tarif bahkan Gratiskan Obat untuk Pasien Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Fauzi Rahmat

0 comments:

Post a Comment