Kisah Perjuangan Ahmad Mu’tamir Jadi Petani Kentang Sukses
Siapa bilang menjadi petani itu tidak bisa sukses untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Barangkali tirulah Ahmad Mu’tamir (64), petani kentang, yang tinggal di Desa Batur, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Sejak muda, Mu’tamir menekuni profesi menjadi seorang petani.
Lahan di desanya yang kebetulan berada di dataran tinggi disulap menjadi hamparan kebun kentang. Kebunnya luas, dan indah. Kualitas kentang dari kebunnya menjadi hal utama. Untuk menghasilkan kentang berkualitas, Muktamir tak ragu mengajak para pakar petanian melakukan penelitian di kebunnya.
Dalam bertani, Mu’tamir tidak saja menanam kentang asal-asalan, namun menamam kentang lewat pengetahuan. “Bibit kentang ini dari Belanda. Kemudian pengembagannya melibatkan pakar pertanian dari UGM,” kata kata Mu’tamir kepada Kompascom, pada pertengahan bulan November 2017 ini.
Menjadi petani, kata dia, perlu untuk terus belajar dan mendapat masukan dari berbagai pihak. Jika dalam prosesnya mengalami hambatan, dia tak ragu bertanya kepada pakar untuk memberi masukan. Begitu pula jika hasil panen kurang memuaskan.
Saat menekuni profesi ini, pria 64 tahun ini sempat mengalami beragam masalah mulai dari bibit, hama, hingga produk hasil kentangnya. Namun masalah itu justru membuatnya semakin berinovasi dalam bertani.
Berbagai cara dicoba, hingga akhirnya ia mempraktikkan masukan dari pakar pertanian yang melakukan penelitian di kebunnya. Berkat saran dari pakar, hasil produknya justru meningkat pesat. Ia tak ragu bercerita bahwa menjadi petani perlu terus belajar, agar lebih berpengalaman.
“Biaya proses kentang satu hektar ini sekitar Rp 90 juta. Tapi panennya itu kalau dijual Rp 170 juta dalam waktu empat bulan. Kalau satu tahun tinggal dikalikan sendiri, karena kentang ini tidak kenal musim,” kata dia.
Setelah sukses bertani, Mu’tamir tak berhenti. Berbekal coba-coba, dia dan istrinya Ety Subekti berwirausaha keripik kentang.
Hasil panen kentang kebunnya tidak langsung dijual, melainkan diolah hingga menjadi keripik kentang. Saat awal berusaha, ia juga sempat membuat keripik kentang dengan kadar minyak yang masih tinggi. Namun lambat laun, melalui saran pakar, kadar minyak berhasil di dalam keripik berkurang secara drastis.
Kentang pun diolah hingga digoreng sendiri di dapur rumahnya. Pengemasan produk juga dilakukan di rumahnya. Lambat laun, usahanya membesar hingga mampu mempekerjakan warga sekitar.
“Setiap hari keripik kentang habis 2 sampai 3 kuintal. Sekarang pegawai saya 12 pegawai, kalau musimnya ramai kadang 25 sampai orang pegawai, habisnya 7 kuintal,” kata dia. Untuk berbagi tugas, Ety Subekti bertugas melakukan produksi keripik kentang dan pemasarannya. Sementara Mu’tamir mengurus pertanian. Keripik kentangnya diberi nama Albaeta.
“Omzet normalnya Rp 120-150 juta per bulan, kalau lagi ramai bisa Rp 400-500 juta,” kata dia. Pemasaran keripik kentang juga telah merambah kawasan Dieng, Semarang, Yogyakarta hingga luar daerah.
Keripiknya juga sempat dipesan luar negeri, namun dia tidak berani menyanggupi karena belum siapnya bahan baku dalam jumlah yang besar. Meski sudah sukses, Muktamir berharap pemerintah agar dapat membantu persoalan bibit kentang berkualitas.
Sebab, hasil panen berkualitas tergantung dari bibit dan proses perawatannya. “Kendala petani disini di bibit. Kami harap pemerintah bisa membantu soal bibit kentang,” tambahnya.
0 comments:
Post a Comment