Thursday, November 5, 2015

Sutarto Alimoeso, Sang Jenderal Semut (2)

DENGAN bekal seadanya, Sutarto berangkat ke Surabaya. Pikiran sederhana Sutarto yang penting bertindak dulu setelah itu berpikir kemudian. Termasuk saat memilih jurusan yang penting pilih jurusan teknik berharap menjadi insinyur. Langkah selanjutnya baru dipikirkan kemudian.

Sutarto kaget ketika sudah mendaftar, tiba-tiba sang kakak malah mengajaknya ke Jogjakarta. Sutarto tak bisa menolak ajakannya. Tiba-tiba, kakak sudah memakai seragam resimen mahasiswa dengan segala kelengkapannya.

“Mana duitnya?” Sutarto baru sadar ketika sudah sampai di stasiun.

“Kamu tenang saja,” katanya sambil membusungkan dadanya.

Tanpa uang Sutarto dan kakaknya lolos dari pemeriksaan karcis. Hanya dengan modal seragam resimen mahasiwa dan wajah dibuat galak, pemeriksa karcis langsung hilang nyali. “Bener kan,” kata kakaknya.

Alamat yang dituju di Jogjakarta adalah kakak Sutarto dari lain ibu. Belakangan Sutarto tetap bertahan di Jojakarta sementara kakaknya yang dari Pacitan beberapa hari kemudian kembali ke Surabaya. “Ngapain kamu ke Surabaya lagi. Sudah di sini saja. Kuliah di sini aja ngambil kedokteran."

Sudah sejak awal Sutarto tidak berminat menjadi dokter. Cita-citanya tetap tak tergoyahkan untuk menjadi insinyur. Sutarto juga melihat gelagat nggak nyaman tinggal di rumah kakaknya karena di sana pula ada adik istri kakak yang juga tengah kuliah.

“Sudah, kamu masuk kedokteran,” bujuk kakaknya lagi.

“Sudah tutup pendaftarannya,” kilah Sutarto.

“Ya, sudah tahun depan daftar ke kedokteran UGM.”

Sutarto diam tetapi otaknya terus berpikir keras. Selama setahun ini saya tak boleh mengangggur, batin Sutarto.

Selama masa menunggu itu, Sutarto sehari-hari menjaga toko alat tulis merangkap percetakan milik kakaknya.  Menjadi penjaga tokok bagi Sutarto sangat menyiksa. Ketika di samping toko dibuka pendidikan guru selama satu tahun, bergembiralah Sutarto. Ia langsung mendaftar. Gantinya, selesai kuliah Sutarto kebagian jaga toko sampai malam.

“Saya memilih jurusan ilmu pasti. Maksud saya mengambil mata kuliah itu sekalian untuk memperdalam ilmu yang selama ini sangat kurang ketika di SMA. Maklum sebagian besar waktu habis untuk membangun sekolah,” kata Sutarto.

Sutarto termasuk yang mendapat beasiswa dalam pendidikan tersebut. Mereka adalah pilihan. Pembayaran beasiswa tidak per bulan melainkan dirapel setelah kelulusan atau menjelang penempatan.

“Uang beasiswa di antaranya saya belikan jam tangan merek Wingo,” kenangnya.

Untuk tidak mengecewakan kakak,  Sutarto pun kemudian mendaftar di kedokteran dan teknik UGM. Namun diam-diam, Sutarto juga mendaftar ke pertanian. Pikirannya sangat sederhana. “Ya, kalau kalau kakak terus bantu biaya, kalau tidak?”

Itu alasan Sutarto  memilih pertanian di UGM. Rupanya program propadus membuat Sutarto semakin kepincut. “Kalau saya lulus setahun maka saya sudah bisa jadi PPL. Kalau saya jadi sarjana muda maka saya bisa jadi penyuluh pertanian madya. Bila sampai jadi insinyur saya jadi penyuluh pertanian spesialis. Selain itu saya pun punya ijazah pendidikan guru tingkat pertama, berarti saya juga sudah bisa mengajar,”  kata Sutarto.

Akhirnya Sutarto lulus dan diterima di pertanian. Ia merasa bersyukur tak masuk seleksi di kedokteran. Karena sudah terpikir dalam benak Sutarto biaya yang akan dikeluarkan tidak sedikit. Apalagi kakak belakangan tak bisa membantu.

“Untuk membayar biaya masuk di pertanian sebesar Rp 9.000 ribu saya benar-benar tak punya uang. Sementara kakak tak juga memberikan bantuan,”  katanya.

Pilihan satu-satunya adalah pulang kampung ke Pacitan dengan menumpang truk pengangkut kopra. Tentu orangtua sangat gembira ketika Sutarto mengabarkan diterima di UGM. Namun ketika menyangkut biaya, Ayah dan Ibu saling pandang tak bersuara.

"Kita kan punya sepeda, kenapa nggak dijual saja," kata Ayah memecah keheningan.

Kembali ke Jogja, Sutarto membawa perasaan gembira. Uang pendaftaran sudah di tangan dan berarti Sutarto bisa kuliah. Mengenai biaya hidup nanti di Jogja, Sutarto tak mau memikirnya. Nanti saja setelah sampai di Jogja memikirnnya, batin Sutarto.

"Saya kan punya ijazah mengajar. Kenapa tidak dimanfaatkan. Saya pun diterima sebagai pengajar IPA di SMP Bokpri di sela-sela kuliah," ujar Sutarto.

Honor mengajar cukup untuk biaya kuliah. Sementara makan numpang di kakak. Setelah lulus setingkat propadus, Sutarto pun menghabiskan waktu sisanya dengan aktif sebagai pengurus senat mahasiswa. "Saya kerap mendapat uang jalan dari fakultas saat ada kegiatan di luar kampus," katanya.

Tak ada hambatan saat kuliah. Sutarto melewati tingkat sarjana muda dengan mulus. Atas prestasinya itu, Sutarto pun didapuk jadi  asisten dosen. "Saya dapat duit lagi. Maka ngajar di SMP saya tinggal," katanya.

Saat membuat skripsi, Sutarto sempat bingung. Di tengah kebingungan tersebut Sutarto ingat dengan  dosennya yang juga menjadi pejabat di Bandung

"Sudah jadi asisten, lumayan dapat duit dari situ. Kemudian tertolong waktu skripsi  saya ingat ada dosen jadi direktur Balai Peneletian Teh dan Kina di Lembang. Saya telepon bahwa saya tinggal melakukan penelitian. Dosen itu langsung meminta saya datang ke Bandung. Saya dijemput pakai mobil dan langsung dibawa ke rumah direktur. Rumahnya besar," terang Sutarto.

Seminggu pertama Sutarto diajak berkeliing di perkebunan yang hawanya sangat sejuk. Haryono Sumangun, sang dosen tersebut, orangnya sangat baik. "Dia mantan dekan dan saya aktif di senat mahasiswa," kisah Sutarto.

Beberapa kali Sutarto terlibat debat kritis dengan dosen tersebut. Namun Haryono sangat terbuka. Bukan tipe antikritik dari mahasiswanya.

Suatu waktu Sutarto  sempat protes, di UGM untuk menjadi sarjana pertanian harus menghabiskan waktu enam tahun. Sedangkan di IPB cukup empat tahun. "Kalau lebih suka empat  tahun pindah saja ke sana," semprot Haryono.

Haryono bukan tipe dosen pendendam. Itu sangat disukai Sutarto. Perdebatan kritis tuntas di kampus atau dalam sebuah forum. Tidak dibawa dalam pergaulan sosial.

"Apa penelitian kamu?" tanya Haryono setelah berkeliling perkebunan.

"Tentang penyakit Kina," jawab Sutarto.

"Oke, silakan teliti sampai tuntas. Mengenai biaya jangan dipikirkan."

Sutarto kembali sumringah. Penelitian sudah dibiayai, tempatnya nyaman dan hawanya dingin pun bimbingan seminggu sekali tanpa terganggu.

"Saya tinggal selama enam bulan. Setiap minggu saya ke rumah beliau untuk melaporkan hasil penelitian. Akhirnya selesai penelitian,  tidak sampai satu bulan saya minta seminar sebelum diujikan," ujarnya.

Hebatnya, waktu seminar Sutarto juga mempresentasikan hasil penelitiannya lebih modern dari mahasiswa lainnya. Slide saat itu barang langka tetapi Sutarto sudah menggunakannya.

"Tidak ada mahasiswa yang pakai slide waktu itu. Bahkan nilai seminar saya A. Saya dinobatkan sebagai lulusan terbaik di pertanian tahun 74. Saya diganjar uang Rp 10 ribu plus piagam," kenang Sutarto. "IPK saya waktu itu 3,15."

Prestasi yang diraih Sutarto semenjak SD hingga perguruan tinggi adalah hasil kombinasi kebijaksanaan kedua orangtuanya dan motivasi yang tinggi dari Sutarto untuk maju.

"Saya ini terbiasa mendapat tantangan seperti itu. Waktu SMP dan SMA anak-anak pelihara kambing saya ikut juga. Anak-anak cari kayu bakar ikut juga padahal untuk cari kayu bakar harus jalan enam kilometer," ujarnya.

Sang ibu selalu menginginkan anaknya lebih baik. Karena itu setiap hari lahir dan pasaran, ibu tidak pernah melewatkan selamatan kecil-kecilan untuk anak-anaknya.

Ibu juga selalu menekankan agar anak-anaknya  jangan pernah punya utang. Harus punya sendiri tak boleh pinjam, kalau bisa malah membantu.

"Jadi ibu dan ayah saya punya kursi sekitar  200 unit. Dan itu selalu dipinjamkan gratis kepada tetangga. Juga punya wajan besar untuk bikin dodol. Ibu saya punya dan itu yang suka dipinjamkan," kata Sutarto. "Saya ingat ada seorang ibu dari gunung, datang ke kulakan  beli ikan kemudian dijual keliling. Ternyata dia tidak punya modal. Jadi setiap hari mampir ke rumah pinjam modal. Keliling. Sorenya pulang. Ibu juga dapat bagian tapi tidak minta. Tidak ada bunga," ungkap Sutarto.

Ayah Sutarto lebih banyak menegakkan disiplin belajar. Beda dengan ibu yang sangat menonjolkan perilaku baik dan moral.

"Ayah sangat tertib dan orang itu harus belajar untuk bisa berprestasi. Misalnya kakak saya nilainya jelek, ya kalau tidak belajar maka akan langsung  ditampar. Bapak saya punya penggaris terbuat dari kertas bulat tetapi sangat keras. Ayah juga pemberani. Kalau benar ya harus dijalani. Bila benar tidak perlu takut. Perawakan ayah kecil tapi cukup disegani," tuturnya.

Sutarto Alimoeso, Sang Jenderal Semut (2) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Andita

0 comments:

Post a Comment